Tuesday, June 24, 2008

POTRET UMKM DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH PASCA BENCANA ALAM



Oleh : Wirono Dana Bhakti

Dua tahun gempa bumi di Yogyakarta telah berlalu. Sekedar membongkar ingatan kita untuk dijadikan referensi, bahwa catatan World Bank pada Juni 2006 menyebutkan kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh bencana alam ini mencapai nilai lebih kurang Rp. 29 Triliun (Assessment Report on the Current State of Rehabilitation of Livelihoods and Possibilities for Further Improvement in the Aftermath of the Yogyakarta and Central Java Natural Disaster of May 2006, September 21, 2006).

Kerusakan dan kerugian ini antara lain meliputi ribuan korban manusia baik meninggal dunia ataupun luka-luka, ribuan bangunan individu dan fasilitas umum rusak, serta macetnya kegiatan ekonomi secara umum selama lebih dari satu minggu. Kerusakan dan kerugian pada sektor ekomomi yang secara langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh pelaku usaha skala mikro, kecil dan menengah yang menurut perhitungan World Bank telah mencapai angka sekitar Rp. 9 triliun.

Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan PPE-FE UAD yang mendapatkan fakta bahwa Persoalan pelaku UMKM pasca bencana adalah: rusaknya infrastruktur dan alat usaha, kehilangan sumber daya manusia untuk produksi, terputusnya hubungan dengan suplayer dan buyer, kehabisan/kesulitan modal kerja, kesulitan dalam memenuhi kewajiban membayar angsuran kredit usaha dan merosotnya moral ke-wirausahaan (entrepreneurship) (Survei BI, PPE UAD & UMY June 2006).

Di sisi lain, peran UMKM dalam roda perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) --khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja— menempati posisi yang sangat penting.
Data BPS melaui sensus ekonomi awal tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah UMKM di DIY tahun 2006 sebanyak 403.348 dimana usaha mikro menempati posisi 82,1%, Usaha Kecil 16,6%, dan UMKM telah menyerap 91.93% dari total 915.100 tenaga kerja di Yogyakarta BPS DIY, (BPS DIY, Ringkasan Listing Sensus Ekonomi 2006). Gambaran ini menunjukkan bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan tulang punggung bagi perekonomian DIY.

***
Saat ini kita bisa melihat, bahwa pembangunan infrastruktur sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, NGO asing maupun oleh organisasi-organisasi lainnya. Namun roda ekonomi di Yogyakarta, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), baik sektor industri, perdagangan, pariwisata, jasa maupun sektor-sektor yang lain masih dalam kondisi yang sulit.

Kondisi sulit para pelaku UMKM pasca bencana alam di Yogyakarta tersebut, terindikasi dari pengakuan para responden pelaku UMKM pada penelitian yang dilakukan oleh UNDP pertengahan 2007 yang menyatakan bahwa tingkat penjualan dari pelaku usaha secara mayoritas masih lebih rendah dari periode sebelum gempa. Di sana disebutkan, 53% responden menyatakan tingkat penjualan mereka turun. (Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D, “Agenda Pemulihan UMKM di Yogyakarta pasca Gempa”, 2007).

Di samping itu, masih banyaknya pengaduan UMKM kepada Jogja Rescue Team (JRT) tentang persoalan kredit usaha mereka di lembaga kreditur yang saat ini telah sampai pada tahap lelang eksekusi jaminan, menambah bukti, bahwa pasca gempa bumi masih meninggalkan persoalan yang krusial di bidang ekonomi mikro, kecil dan menengah di DIY.

Berdasarkan pengaduan UMKM kepada (JRT), pihak kreditur –perbankan, leasing, pegadaian, koperasi, dan lintah darat-- sudah banyak yang mengancam untuk melakukan penyitaan aset UMKM, sedangkan usaha UMKM belum pulih 100%. Data yang dicatat oleh Tim Ad Hoc (Sumber dari BI dan pengaduan UMKM) per April 2008, jumlah nasabah UMKM yang terkena dampak gempa bumi di DIY sebanyak 18.734 nasabah dengan nilai kedit sebesar 405,1 Milyar Rupiah.
Sesungguhnya dinamika UMKM di Yogyakarta telah banyak mengalami penurunan pasca terjadinya kenaikan BBM di tahun 2005, ditambah lagi dengan adanya krisis energi yang berdampak pada krisis ekonomi, mau tidak mau juga mempengaruhi geliat para pelaku UMKM. Penurunan tersebut semakin diperparah dengan adanya musibah bencana alam 27 mei 2006.
Secara drastis sebagian besar industri yang berorientasi ekspor telah gulung tikar segera setelah gempa, yang masih hidup pun mengalami kemunduran.
Ekspor DIY tahun 2007 menurun 9 % dibanding tahun 2006. Gambaran ekspor DIY dari tahun 2005-2007 adalah sebagai berikut:
2005 : 143.471.318,34 USD
2006 : 138.472.541,88 USD
2007 : 125.561.490,42 USD (Sumber Disperindagkop DIY, diolah oleh API DIY, 20 Februari 2008)

Bahkan Tim Teknis Nasional (TTN) pada awal januari 2007 telah memperkirakan bahwa di Jateng (Klaten) dan DIY sebagai dampak dari Gempa 27 Mei, akan terjadi potensi pengangguran sekitar 200.000 orang. (KOMPAS, 17 Januari 2008)
Terjadinya pengangguran menjadi nyata ketika kegiatan rekonstruksi bangunan telah selesai dan kegiatan UMKM belum juga membaik. Tenaga kerja yang sementara terserap oleh kegiatan rekonstruksi pasca gempa di sektor fisik tidak dapat kembali lagi ke tempat asal pekerjaannya karena banyak UMKM yang belum pulih atau bahkan telah menemui ajal. Hal tersebut ber-implikasi pada semakin meningkatnya angka kemiskinan di Yogyakarta jauh di atas angka kemiskinan rata-rata nasional. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index) meningkat dari 3,59 pada Juli 2005 menjadi 3,80 pada Maret 2007 Indeks Keparahan Kemiskinan (Distributionally Sensitive Index) naik dari 1,02 menjadi 1,12 pada periode yang sama. (Sumber : BPS DIY No. 16/08/34/Th. IX, 01 Agustus 2007).

Mau tidak mau harus diakui bahwa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak di DIY masih bias kepada aspek rekonstruksi fisik. Persentase alokasi dana bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa sebagian besar ditujukan untuk kegiatan pembangunan fisik terutama pembangunan rumah. Sementara alokasi untuk kegiatan ekonomi hanya memperoleh persentase yang cukup kecil, pada tahun 2006 hanya tersedia dana sebesar Rp. 61,9 miliar, terdiri dari Rp. 14,9 miliar dana dari APBN dan anggaran dekonsentrasi ditambah Rp. 47 miliar dana dari pemerintah provinsi. (Sumber: Presentasi Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) Provinsi DIY pada Forum Jogja Bangkit Mei 2007). Sementara kerusakan pada sektor ekomomi telah menyentuh pada angka 9 Triliun Rupiah (Sumber: Assessment Report on the Current State of Rehabilitation of Livelihoods and Possibilities for Further Improvement in the Aftermath of the Yogyakarta and Central Java Natural Disaster of May 2006, September 21, 2006).
Untuk menjawab kebutuhan akan kerusakan fisik dan sarana kerja UMKM, mungkin rekonstruksi perumahan dianggap cukup, namun bila dikaitkan dengan persoalan lain berupa putusnya akses pasar, kesulitan mendapatkan bahan baku, kesulitan dalam mendapatkan permodalan kembali dan persoalan dalam kesulitan membayar angsuran kredit lama pelaku UMKM, pemerintah belum banyak mengeluarkan kebijakan berarti bagi UMKM.

Dampak tersebut tentunya akan berimlikasi pada produktifitas UMKM sehingga kualitas UMKM yang terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung akan berbeda dengan sebelum terjadinya bencana alam. Perbedaan tersebut secara kasat mata dapat dilihat dari omset pendapatan UMKM, sehingga Kesulitan dalam memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran kredit modal kerja yang telah diambil sebelum terjadinya bencana adalah salah satu problem yang cukup mengemuka di kalangan pelaku UMKM.

Persoalan kredit bermasalah UMKM pasca bencana sebenarnya telah diprediksi sebelumnya sehingga pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan sebagai antisipasi dari kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Pada kasus bencana alam di Yogyakarta dan sebagian jawa tengah, Bank Indonesia sebagai regulator moneter telah mengeluarkan PBI 8/10/2006 sebagai turunan dari PBI 8/15/2005 tentang perlakuan khusus terhadap kredit Bank bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam.
Secara umum peraturan Bank Indonesia mengenai perlakuan khusus tersebut telah “mengarahkan” agar para kreditur memberikan fasilitas restrukturisasi atau reschedulling kepada pelaku UMKM yang beroprasi di daerah bencana sehingga kredit tersebut dapat dikatakan lancar sampai batas waktu yang ditentukan, bahkan peraturan tersebut telah “menyarankan” agar pihak kreditur dapat memberikan suntikan permodalan baru yang pembukuannya dibuat terpisah dari kreditnya yang lama (Lihat PBI : 8/10/2006 pasal 4 dan pasal 6).
Namun secara praktek di lapangan, peraturan tersebut tidak dapat menjawab persoalan tersebut, karena:

Pertama secara teknis petunjuk pelaksanaan peraturan tersebut masih gamang dipahami oleh pihak kreditur, bahkan untuk pinjaman permodalan baru bagi UMKM di wilayah bencana, pihak kreditur masih harus mensyaratkan “kelayakan” yang berpedoman pada perinsip perbankan pada situasi normal (UMKM harus Bankable).

Kedua, restrukturisasi dan atau reschedulling hanya akan mengulur-ulur waktu kematian UMKM saja. Di dalam restrukturisasi dan atau rescheduling tetap memberlakukan sistem denda dan bunga, sehingga kredit UMKM akan semakin membengkak nanti ketika jatuh tempo jika UMKM ternyata tidak mampu memenuhi kewajibannya. Bahkan yang lebih ironis, tunggakan bunga dan denda debitur selama dikatakan macet (Sebelum diberlakukan restrukturisasi dan atau direschedulling) diakumulasi menjadi satu kewajiban yang harus dibayar debitur selama waktu restrukturisai dan rescheduling berjalan.
Ketiga, Persoalan dari kredit bermasalah UMKM di wilayah bencana adalah kemampuan mereka untuk memenuhi kewajibannya, sehingga yang harus dijadikan dasar dari kebijakan adalah bagaimana supaya UMKM di wilayah bencana dapat kembali bangkit, sehingga kewajibannya dapat segera dipenuhi.
Atas persoalan kemacetan dalam membayar angsuran kredit UMKM di Yogyakarta yang sempat mengemuka dan menjadi isu pokok yang patut untuk diselesaikan, sementara peraturan Bank Indonesia yang telah ada belum mampu meyelesaiakan persoalan tersebut, dengan itikat baik pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, baik Legislatif maupun Eksekutif telah mengeluarkan himbauan, seruan bahkan permohonan kepada pihak kreditur untuk menunda dulu pelelangan eksekusi jaminan Pelaku UMKM yang kesulitan dalam memenuhi kewajibannya sebagai debitur. Sikap dan upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut secara kronologis adalah sebagai berikut (Sumber : Tim Adhoc Penyelesaian Kredit bermasalah UMKM Pasca Bencana Alam di Yogyakarta):

Pada tanggal 28 Juni 2007 DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Komisi B telah merekomendasikan kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk segera menangani persoalan UMKM Pasca gempa bumi 27 Mei 2006 khususnya mengenai persoalan kredit bermaslah.

Menindak lanjuti rekomendasi DPRD DIY tersebut, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan Surat Himbauan dan Permohonan kepada Pihak Perbankan untuk dilakukannya Reschedulling dan atau Injeksi kredit serta penagguhan eksekusi jaminan bagi KUKM yang terkena dampak gempa bumi tertanggal 27 Mei 2006 dengan No. Surat 581/2272 dan Surat No. 581/1213 tertanggal 31 Maret 2008.

Gubernur DIY juga telah mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, Bank Indonesia serta pihak pihak lain yang terkait di pemerintahan pusat agar untuk dicarikan jalan keluarnya sesegera mungkin. Atas komunikasi tersebut, pemerintah pusat menanggapinya secara positif dan akan mengupayakan penyelesaian.
Lalu pada tanggal 25 Agustus 2007 Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah membentuk Tim Ad-Hoc Guna menyelesaikan persoalan UMKM pasca bencana alam;

Meskipun Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah berupaya menyelesaikan persoalan kredit bermasalah UMKM pasca bencana alam, namun kenyataan di lapangan menceriterakan hal yang berbeda, penyitaan dan pelelangan aset UMKM masih terus dilaksanakan oleh pihak kreditur. Seakan-akan himbauan dan rekomendasi bahkan permohonan tersebut dianggap sebagai angin lalu.

Kenyataan masih tetap dijalankannya lelang eksekusi aset jaminan UMKM yang kesulitan dalam menjalankan kewajibannya sebagai debitur, secara teori dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, bukan menjadi kewenagan Pemerintah Daerah untuk menghentikan penyitaan aset UMKM yang telah diikat melalui perjanjian kredit antara pihak kreditur dan debitur.

Kedua pelelangan terjadi secara kasus perkasus (individu-individu) sehingga tim yang dibentuk pemerintah dengan segala keterbatasannya kesulitan memposisikan persoalan yang telah diarahkan kreditur menjadi persoalan perdata di mana pihak kreditur telah dilindungi oleh Undang-Undang Hak Tanggungan untuk melakukan sita eksekusi jaminan jika debitur telah “dianggap wanpretasi” (ingkarjanji).

Keempat, lelang penyitaan aset UMKM oleh perbankkaan tersebut difasilitasi oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di bawah Kementrian Keuangan Negara yang notabene adalah bagian dari pemerintah. Hal tersebut secara jelas dan nyata menggambarkan kepada kita bahwasannya “itikat baik” pemerintah dalam menangani persoalan kredit UMKM yang bermasalah akibat bencana alam tersebut masih hanya sebatas wacana. Itikat baik tersebut tidak dilaksanakan secara komperhensif dan terintegratif sehingga pada implementasinya tidak diterapkan secara utuh oleh badan-badan atau lembaga pemerintahan yang terkait.

Kelima, memang belum ada kebijakan secara khusus yang mengatur prilaku kreditur dalam mengantisipasi persoalan kemacetan kredit yang diakibatkan dari kondisi Force Majore, minimal mencantumkan klausul hak serta kewajiban kreditur dan debitur jika terjadi kondisi tersebut di dalam Perjanjian Kredit.
Menilik dari pengalaman di Yogyakarta, maka sudah menjadi keharusan bagi pemerintah pusat untuk merumuskan kebijakan khusus yang komperhensif dan terintegratif serta mengikat semua pihak guna menjawab persoalan UMKM pasca terjadinya bencana alam. Keharusan tersebut tentunya didasari atas pertimbangan yang termuat didalam konsideran UU No. 24 Tahun 2007 tentang penaggulangan bencana alam yang sayangnya belum memuat tindakan-tindakan kongkrit untuk menjawab rekonstruksi ekonomi pasca terjadinya bencana alam. Sehingga kedepan, perlakuan khusus tersebut bukan terkesan hanya sebagai “Kebaikan hati dan belas kasihan“ segelintir orang atau kelompok saja, namun perlakuan khusus tersebut merupakan implementasi dari pembukaan UUD 1945 alenia ke 4 yang dilakukan Negara Kepada Rakyatnya.

Dari semua paparan di atas, sekarang yang dibutuhkan adalah political will dari semua pihak yang berkompeten untuk membuat sistem yang bisa menjawab persoalan di atas. Tentu sistem yang dibutuhkan untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu terciptanya Republik Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera. Tanpa sistem yang baik dan mendukung, semua itu hanya isapan jempol saja!.

***

Wirono Dana Bhakti
Sekretaris Jendral Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Indonesia & Anggota Jogja Rescue Team
Jl. Kusuma Negara No. 133 Yogyakarta
Telp./Fax.: (0274) 545531
e-mail: bangkit_yo@yahoo.com

No comments: