Monday, February 18, 2008

DARI SOAL KEBERPIHAKAN BANK HINGGA PEMBATASAN MINIMARKET


Dari Penyerapan Aspirasi RUU UMKM Komisi VI ke Daerah-daerah Print E-mail
Ditulis oleh tim DPR RI
Sumber: http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=35
Tuesday, 23 October 2007

Komisi VI DPR yang membidangi perindustrian, perdagangan, BUMN dan Koperasi saat ini tengah membahas RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Agar bisa melahirkan UU yang dapat mengakomodir sebagian besar pemangku kepentingan yang bertalian dengan usaha mikro, kecil dan menengah. Komisi VI menyebar anggotanya ke berbagai daerah untuk menyerap aspirasi. Selain menambah wawasan dan pengkayaan khasanah, aspirasi dari kalangan perbankan, perguruan tinggi dan pengusaha kecil serta koperasi akan sangat bermanfaat bagi perkembangan UKM sendiri.

 Komisi VI mengirim 4 tim terbagi Tim ke Propinsi Jabar dipimpin Ketua Komisi VI Didik J. Rachbini didampingi Wakil Ketua Lily Asdjudireja , Wakil Ketua Komisi Dudhie Makmun Murod memimpin Tim ke Propinsi Jawa Tengah, Tim ke Propinsi Sumatera Utara dipimpin Wakil Ketua Komisi Anwar Sanusi dan Wakil Ketua Komisi Agus Hermanto memimpin tim ke Propinsi Jawa Timur.

Dalam pertemuan dengan kalangan perbankan, Komisi VI meminta punya komitmen tinggi untuk membantu menyalurkan kredit bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Selama ini keberpihakan bank-bank dalam menyalurkan kredit bagi UMKM sangat kecil.

Ketua Komisi VI DPR Didik J. Rachbini dihadapan jajaran Bank Indonesia, BRI, BNI, Bank Mandiri, Bukopin dan BPD Jawa Barat mengungkapkan, banyak para Banker yang berpendapat bahwa mengurus usaha mikro dan kecil itu tidak Bankable, untuk itu mereka berpendapat tidak perlu diurus. Namun kenyataannya, pada saat negara kita dilanda krisis moneter, justru usaha kecil inilah yang masih survive, sedang usaha-usaha besar banyak yang rontok. Hal ini dialami Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank pemberi kredit bagi usaha kecil.

Didik menambahkan, meskipun sekarang ini ekonomi tumbuh lumayan bagus, tapi angka kemiskinan dan pengangguran masih relatif tinggi. "Ini persoalan krusial yang perlu mendapatkan perhatian serius," kata politisi F-PAN ini.

Untuk itu Didik mengharapkan sumbangan pemikiran dari jajaran Bank untuk mencarikan jalan keluar bagi kemudahan pelaku UMKM. Karena selama ini kemampuan untuk menelusuri seluruh sudut-sudut usaha kecil di Indonesia belum berhasil, dalam arti suplaynya terlalu sedikit dibandingkan dengan kebutuhan yang diinginkan.

Anggota Komisi VI dari F-PG H. Djoko Poerwongemboro mempertanya-kan rendahnya keberpihakan Bank-Bank kepada pelaku UMKM. Menurutnya, konglomerat-konglomerat besar terlalu banyak diberikan kelonggaran untuk diberikan fasilitas, tapi untuk usaha kecil dipersulit. Dalam hal ini dia melihat pemerintah tidak pro pada pelaku usaha kecil.

Wakil dari Kantor Wilayah BRI Surya mengatakan soal kepedulian BRI pada pelaku UMKM tidak diragukan lagi. Menurutnya, kurang lebih 80% kredit di BRI disalurkan untuk UMKM.
Namun kalau memberikan kredit tanpa agunan menurutnya kurang mendidik, karena unsur psikologisnya lebih dominan. Seperti kredit program, pemberian kredit ini banyak yang bermasalah.

Dalam pemberian kredit tanpa agunan BRI baru berani mengeluarkan batas pinjaman Rp 5 juta. Jumlah ini kecil dan tidak dominan, tapi itupun banyak yang menunggak," kata Surya.
Sementara Kepala Kantor Wilayah Bank Mandiri Suharto MZ menambahkan, di daerah hanya diberikan kewenangan untuk pemberian kredit UMKM. Untuk kredit-kredit corporate maupun komersil (jumlah menengah besar) hal itu diputuskan oleh kantor pusat.

Bank Mandiri, kata Suharto, memberikan kredit mikro sampai batas Rp 100 juta dan kecil sampai Rp 5 miliar. Di atas lima miliar untuk usaha yang sifatnya komersil, menjadi kewenangan pusat.

Mengenai kredit tanpa agunan, Bank Mandiri mempunyai program yang namanya kredit serba guna mikro. Kredit ini diberikan sampai batas Rp 10 juta, namun hanya diberikan kepada para pegawai, baik pegawai perusahaan maupun pegawai instansi yang telah menjalin kerjasama dengan Bank Mandiri.

Perihal pemberian kredit tanpa agunan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pernah dibuat program yang namanya Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Namun dalam kenyataannya saat dilakukan penagihan, UKM itu mengatakan bahwa itu bantuan dari Presiden tidak perlu mengembalikan.

Untuk itu, menurut Suharto, dalam pemberian kredit tanpa agunan perlu diatur sedemikian rupa. Kalau nantinya ada pembebasan agunan, di sini perlu ada pengecualian-pengecualian.
Dalam hal ini perlu pemikiran yang agak komprehensif karena masalah ini memang krusial. "Kami takut terjadi volume kredit yang jumlahnya cukup tinggi, walaupun jumlahnya tidak terlalu besar, tapi kalau jumlah nasabahnya banyak akhirnya akan terjadi jumlah yang besar juga, dan secara sistemik akan mempengaruhi roda perekonomian," imbuhnya.

Wajib berperan
 Perbankan perlu diwajibkan berperan aktif untuk meningkatkan akses usaha mikro dan kecil (UMK). Tanpa adanya kata kewajiban, perbankan tidak ada unsur yang memaksa untuk memberikan kredit Demikian ditegaskan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Prof. FX Sugianto ketika menerima Tim Komisi VI DPR dipimpin Wakil Ketua Dudhie Makmun Murod.

Menurut Sugianto, ketentuan umum Bab I RUU UMKM yang naskahnya berasal dari pemerintah itu disebutkan bahwa definisi dunia usaha dalam RUU UMKM ini adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha menengah dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.

Dalam pasal 23 ayat (2) ditentukan bahwa dunia usaha dan masyarakat berperan aktif meningkatkan akses UMK terhadap pinjaman atau kredit. " Saya takut dunia usaha dalam RUU ini tidak termasuk perbankan. Artinya bank tidak punya kewajiban untuk berperan secara aktif meningkatkan akses usaha mikro ini, sehingga bank tidak mempunyai kewajiban," jelasnya.

Karena itu dia mengusulkan, ayat 2 tersebut perlu ditambahkan, perbankan berkewajiban sehingga lengkapnya berbunyi, " Dunia usaha, perbankan dan masyarakat berperan aktif meningkatkan akses UMK terhadap pinjaman atau kredit".

Berdasarkan studi kelayakan dimanapun, perbankan melihat usaha itu tak layak maka tidak akan dibiayai. Karena itu beberapa studi yang dilakukan bersama BI mensyaratkan harus ada bank di dalamnya sebab yang menilai terakhir layak atau tidak adalah bank.

Lebih lanjut FX Sugianto menegaskan perlu ada penegasan bahwa usaha-usaha mikro, kecil dan menengah harus dilindungi. Pada UU Penanaman Modal (PM), antara asas dan pasal bisa tidak konsisten. " Saya membayangkan walau ada UMKM yang dilindungi tetapi takut misalnya kalau modal asing masuk ke UMKM, ini hancur ekonomi kita," katanya.

Demikian pula soal penyebaran informasi, dia melihat ketentuan pasal 17 perlu ada satu syarat lagi yaitu secara adil dan transparan, karena penguasaan informasi bisa menciptakan ekonomi profit. Dengan diatur dalam UU ada kekuatan memaksa, sebab dalam RUU tidak terlihat negara itu mempunyai kewajiban, padahal kewenangan itu ada pada negara.

BUMN dan Pemda
Mencermati ketentuan Pasal 20, ayat 1 dan 2 dimana pemerintah dan pemda menyediakan pembiayaan bagi UKM perlu diatur lebih tegas lagi. Sebab kalau menyediakan bisa iya bisa tidak. Untuk itu diusulkan tambahan kata wajib, sehingga ada kekuatan memaksa. Wajib menyediakan pembiayaan bagi UMK dan itu diimplementasikan pada perda.

Begitu juga BUMN Sugianto meminta ditambahkan kata wajib. Dalam RUU hanya dapat menyediakan, artinya bisa melakukan atau tidak. Kalau wajib berarti satu kata dan satu makna, sehingga BUMN dapat menyediakan pembiayaan, yang pada gilirannya tidak bisa tidak harus menyediakan pembiayaan bagi UMK.

"Nggak apa-apa BUMN diwajibkan, karena juga milik rakyat, sahamnya milik rakyat dan rakyat bayar pajak. Sudah saatnya rakyat itu menuntut haknya," tandas Sugianto.

Menanggapi hal ini Ketua Tim Penyerapan aspirasi RUU UMKM Dudhie Makmun Murod mengatakan masukan kalangan perguruan tinggi Jateng ini sangat menarik dan diperkirakan akan menjadi masalah yang cukup berat. Tuntutan akademisi terhadap kewajiban perbankan membantu UMK tetapi di sisi lain perbankan memilki aturan yang ketat untuk mengeluarkan kreditnya sebab terikat dengan aturan yang ketat pula.

Karena itu dalam pembahasan nanti Komisi VI DPR harus mencari formula yang pas sehingga bisa menghasilkan UU yang aspiratif dan yang terpenting bisa implementatif. Ditargetkan RUU ini bisa diselesaikan akhir tahun 2007 ini.

Perlu pembatasan
 Masih berkaitan dengan perlindungan usaha kecil, Wakil Ketua Komisi VI DPR Dudhie Makmun Murod mendesak kepada pemerintah agar operasional minimarket seperti Indomart dan Alfamart ada pembatasan. Meski skalanya lebih kecil dibanding supermarket, tetapi minimarket yang menyerbu sampai ke pelosok-pelosok kampung telah mematikan usaha-usaha kecil.

Masukan yang diterima Komisi VI saat menyerap aspirasi untuk pembahasan RUU UMKM Jawa Tengah, pembatasan operasional minimarket juga diusulkan oleh kalangan perguruan tinggi Jateng. Dalam pertemuan yang dipandu guru besar FE Undip Prof. FX Sugianto mereka mengusulkan adanya perlindungan bagi para pengusaha kecil menengah. Masuknya minimarket ternyata telah mematikan usaha yang lebih kecil lagi termasuk pasar tradisional.

Secara tegas mereka menyebut perlu adanya aturan yang tegas terhadap operasional Alfamart dan Indomart, sehingga UKM tetap terlindungi. Selain itu usaha-usaha kecil sering kalah dalam persaingan, kemudian lambat laut bangkrut dan akhirnya usaha itu mati. " Masalah ini belum disinggung dalam RUU UMKM. Bagaimana pengaturan masalah ini apalagi menghadapi pasar global," kata salah seorang dosen FE Unisula.

Begitu pula soal lokasi usaha UKM, kalau usaha asing ada perlindungan antara 30-hingga 50 tahun. Mereka mempertanyakan apakah mungkin dalam RUU UMKM juga ada perlindungan sehingga tidak ada penggusuran PKL, demo dan sebagainya.

Dudhie Makmun Murod mengatakan, supermarket mini bisa merupakan alternatif untuk melawan hipermarket. Kemudian dikategorikan minimarket termasuk waralaba sebagai usaha menengah, namun kenyataannya mereka memukul pasar-pasar tradisional dan usaha kecil.
Menghadapi keadaan ini, lanjut Dudhie, DPR dan pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan akan membatasi operasional mereka. " Yang perlu adalah pembatasan waralaba sampai tingkat mana dan jaraknya harus diatur berapa jauh dengan pasar tradisional." katanya dengan menambahkan, kalau menghalangi pertumbuhan minimarket tidak mungkin sebab merupakan salah satu alternatif usaha menengah yang memang perlu digalakkan.

Dikaji Ulang
Sedangkan Guru Besar FH Undip Prof. Sri Redjeki menilai, RUU UMKM yang naskahnya dari pemerintah harus dikaji ulang. Ada beberapa pasal yang tidak konsisten satu sama lain dan dalam konsiderans kurang lengkap mencantumkan dasar hukum undang-undang yang terkait.

Sebagai UU yang baik, kata Sri Redjeki harus konsisten sejak pencantuman Pancasila, UUD 45 sampai dengan UU yang di bawahnya. Filosofi UU akan menjadi lebih berbobot jika merujuk pada tujuan pembentukan suatu negara yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Pimpinan Komisi VI DPR Dudhie Makmun Murod mengakui setelah bertemu dengan tiga pihak akademisi, pelaku usaha/pemda dan perbankan banyak sekali masukan yang sangat berguna bagi pembahasan RUU UMKM. Dia juga mengakui RUU yang naskahnya dari pemerintah masih banyak kekurangannya dan perlu diperbaiki dengan masukan-masukan dari berbagai kalangan.

"Dengan masukan itu nanti diharapkan akan menghasilkan UU yang lebih berkualitas dan yang lebih penting bisa diimplementasikan di lapangan," kata Dudhie menambahkan.
Sikap yang sama disampaikan kalangan Perbankan Sumut meminta agar dimasukkan kemudahan-kemudahan perijinan pada pasal-pasal RUU UMKM karena selama ini perbankan kesulitan melakukan verifikasi perijinan UMKM.

"Selama ini kita kesulitan dalam melakukan klasifikasi perijinan, karena itu kita meminta adanya klasifikasi perijinan khusus untuk UMKM, misalnya diperbolehkannya surat keterangan lurah terkait usaha UMKM,"kata Kepala Kanwil I Bank Mandiri Wahyu Widodo kepada Tim Komisi VI dipimpin Anwar Sanusi.

Karena melalui langkah ini, tambahnya, dapat lebih memudahkan maereka dalam mendapatkan kredit dari pihak perbankan. Selain itu, kata Wahyu perlu dibentuk semacam lembaga penjaminan kredit terhadap UKM.

Menurut dia pihaknya mengaku kesulitan UMKM terletak pada perijinan karena itu perlu adanya keterlibatan pemda dalam memberikan kemudahan dalam memberikan penjaminan.
Syafei menambahkan, perlu adanya dukungan dari pengusaha sehingga UKM yang kurang performed dapat ditingkatkan dari sisi produksi maupun manajemennya.

Ketua tim penyerapan aspirasi Anwar sanusi mengatakan, saat ini program BI untuk UMKM memang sedang gencar-gencarnya karena itu perbankan pemerintah harus mendorong program ini sehingga UMKM Indonesia bisa berkembang.

Hal senada disampaikan oleh Yusuf Pardamean Nasution (F-PD), perlunya ditingkatkan jaringan antar perbankan sehingga kredit UKM dan perbankan dapat maju nantinya.(tim)

Thursday, February 07, 2008

Pemulihan UMKM Pasca Gempa Butuh Mediasi Plus

Kedaulatan Rakyat;
HAMPIR dua tahun gempa bumi di Yogyakarta. Pembangunan infrastruktur sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, NGO asing maupun oleh organisasi-organisasi lainnya. Namun roda ekonomi di Yogyakarta, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), baik sektor industri, perdagangan, jasa, pertanian maupun sektor-sektor yang lain masih dalam kondisi yang sulit. Terbukti dengan banyaknya pengaduan UMKM berkaitan dengan kondisi usaha mereka, terutama masalah kredit usahanya kepada Tim Ad-Hoc Penyelesaian Kredit Bermasalah Pasca Gempa Yogyakarta & Komite Percepatan Pemulihan Ekonomi ‘Yogya Bangkit’ (KP2E Yo Bangkit).


Mau tidak mau harus diakui bahwa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak di DIY masih bias kepada aspek rekonstruksi fisik. Persentase alokasi dana bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa sebagian besar ditujukan untuk kegiatan pembangunan fisik terutama pembangunan rumah. Adapun alokasi untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan pariwisata terbukti hanya memperoleh persentase yang cukup kecil.
World Bank dalam laporannya memperkirakan kerugian yang terjadi akibat gempa di DIY mencapai Rp 29 triliun, dan kerugian serta kerusakan yang utama dialami oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian DIY. Namun sangat ironis bahwa alokasi anggaran untuk merehabilitasi potensi ekonomi utama ini justru mendapatkan alokasi anggaran dalam persentase yang cukup kecil. Bahkan ekonomi DIY yang secara jelas ditopang oleh industri pariwisata dan pendidikan ternyata anggaran yang dialokasikan guna merehabilitasi kedua industri tersebut sangat minim untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.



Mengapa UMKM? Dari catatan BPS Yogyakarta tahun 2006 tercatat 97,93% pelaku usaha di DIY adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM ). Sehingga bisa dikatakan bahwa UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Yogyakarta. Maka secara otomatis, jika mayoritas para pelaku UMKM terkena problem-problem yang menghimpit di atas, akan sangat berimbas pada roda perekonomian Yogyakarta secara keseluruhan. Sebagaimana catatan KP2E ‘Yo Bangkit’, yang dipimpin Ambar Tjahjono, dengan tim terdiri dari Hari Dendi, Prof Dr Mudrajad Kuncoro, Robby Kusumaharta, Sukardi, Jadin C Jamaludin, Bagus Ardhi Baliantoro, dan beberapa praktisi dunia usaha Yogya lainnya, saat ini, tampaknya kondisi kegiatan ekonomi UMKM di DIY belum cukup membaik. Hal ini tampak dari pengakuan responden pada penelitian yang dilakukan oleh UNDP (2007) yang menemukan bahwa tingkat penjualan dari pelaku usaha secara mayoritas masih lebih rendah dari periode sebelum gempa (53% responden menyatakan tingkat penjualan mereka turun). Sejak awal pasca gempa bumi di Yogyakarta, secara ekonomi, Komite Percepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta ‘Yo Bangkit’, UKM Center telah memprediksi dampak bencana alam ini. Bahwa gempa bumi ini memiliki implikasi negatif pada perubahan kondisi perekonomian pada skala mikro maupun makro DIY. Rekonstruksi Bencana tersebut membawa dampak sangat signifikan terhadap perekonomian Yogyakarta. Sehingga besarnya nilai kerusakan yang dialami oleh sektor industri akibat gempa bumi memaksa sejumlah besar unit usaha terpaksa berkurang kapasitas produksinya dan bahkan ada yang harus berhenti berproduksi karena mengalami kerusakan alat produksi. Hal ini membawa konsekuensi terhadap pengurangan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam unit usaha.


Hampir dua tahun pasca bencana alam ini, diperkirakan DIY telah menerima tidak kurang dari US $15 juta dari lembaga donor dan lembaga international lainnya untuk kegiatan rekonstruksi. Namun sekali lagi, dana yang cukup besar ini sebagian besar masih terfokus untuk kegiatan pembangunan fisik. Indikasi untuk bergerak dalam bidang livelihood atau ekonomi dari lembaga internasional masih sangat minim. Dari program livelihood yang ada pun porsi terbesar alokasi dana tersebut lebih pada technical assistance, ini yang dipandang kurang menyentuh pada akar persoalan bisnis yang ada di DIY, khususnya pasca bencana alam. Karena berdasarkan pemantauan dari pengaduan UMKM, yang sangat krusial untuk segera di atasi adalah masalah modal kerja.


Di samping itu tampaknya bantuan untuk merevitalisasi ekonomi DIY ini masih gamang dilakukan, karena tidak ada kejelasan rencana detail rekonstruksi bidang ekonomi dari pemerintah daerah. Oleh karena itu sangat diperlukan konsep yang jelas dari pemerintah daerah mengenai detail rencana pembangunan ekonomi DIY pasca gempa. Kalau kita menilik sejenak ke belakang (sebelum gempa bumi) pada perjalanan roda ekonomi para pelaku UMKM, kita tidak bisa lepas dari beberapa hal yang sangat mempengaruhi terhadap kelancaran usaha mereka. Dari beberapa pembahasan dan analisa studi terhadap para pelaku UMKM yang mengadu di posko pengaduan Tim Ad-Hoc & KP2E Yo Bangkit, dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa yang menjadi akibat dari dampak gempa bumi secara ekonomi. Di antaranya, rusaknya infrastruktur dan alat usaha, kehilangan sumber daya manusia untuk produksi, terputusnya hubungan dengan suplayer dan buyer, kehabisan/kesulitan modal kerja, dan merosotnya moral ke-wirausahaan (entrepreneurship) pelaku usaha. Hal-hal inilah yang jika tidak ditangani secara serius, akan menimbulkan multiple effect yang sangat luas. Meledaknya pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya angka kemiskinan, dan pada gilirannya akan sangat berdampak pada sosial kemasyarakatan. Bahkan cenderung pada naiknya angka kriminalitas.


Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan sebuah pendekatan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi serta melibatkan seluruh stakeholders. Lebih dari hal tersebut, diperlukan sebuah action yang bersifat segera namun tetap terprogram secara baik. Jika dipetakan, pola kerja KP2E Yo Bangkit lebih dominan pada porsi sebagai pendorong terhadap kebijakan ekonomi yang diprogramkan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lain (baik LSM maupun NGO asing) agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha di DIY. Krusial Menghadapi tahun 2008 dan 2009, yang mana pesta demokrasi akan berlangsung, KP2E Yo Bangkit menengarai adanya degradasi perhatian terhadap dunia ekonomi oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lain. Hal ini yang menyebabkan review dan evaluasi kegiatan pemulihan ekonomi pada akhir 2007 dan menghadapi tahun 2008 menjadi sangat krusial. Beberapa sektor yang menjadi catatan penting dan harus diperhatikan di antaranya adalah permodalan & advokasi UMKM. Kemampuan untuk recovery usaha dari pelaku bisnis, sangat terkait dengan kemampuan untuk melakukan rehabilitasi atau rekonstruksi terhadap segala kerusakan yang telah dialami, dalam hal ini terkait dengan kemampuan finasial yang dimiliki.


Berdasarkan survei tahun lalu, para pelaku usaha sangat memrioritaskan kebutuhan yang mendesak adalah modal kerja untuk memulihkan kondisi usahanya (59%). Dari berbagai diskusi yang dilakukan dan analisa dari berbagai pengaduan yang ada, KP2E Yo Bangkit-UKM Center bersama asosiasi-asosiasi usaha DIY, LBH DIY, LOS DIY telah melahirkan Jogja Rescue Team, sebagai tim yang melakukan edukasi, mediasi, dan advokasi terhadap UMKM yang mengalami kredit bermasalah kepada bank dan lembaga keuangan non-bank. Target terbentuknya Jogja Rescue Team adalah mengupayakan agar bank dan lembaga keuangan non-bank tidak melakukan penekanan-penekanan terhadap UMKM, apalagi melakukan eksekusi terhadap agunan kredit UMKM yang bermasalah pasca bencana alam. Kemudian mengupayakan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium terhadap kredit UMKM selama 3 tahun, agar mereka dapat bekerja dengan tenang, tanpa ada penekanan dari pihak kreditur, di samping adanya kebijakan khusus kepada UMKM yang terkena masalah kredit macet, baik berupa restrukturisasi, reschedulling kredit, recondisioning, maupun hair cut kredit.


Langkah strategis Jogja Rescue Tim, yang diteruskan dengan Tim Ad Hoc- adalah membuka pengaduan bagi UMKM yang terkena masalah kredit macet, khususnya pasca bencana alam. Hal-hal yang telah diprediksi sejak awal ternyata terbukti dengan banyaknya pengaduan yang mengalir ke meja tim Ad Hoc. Dari data sementara pengaduan tersebut yang masuk berjumlah 500 lebih kasus dengan nilai kredit sebesar Rp 23.241.555.795,- dengan nilai agunan sebesar Rp 59.834.589.736. Kemudian Tim Ad Hoc juga berupaya meminta data dari perbankan tentang nasabah yang terkena dampak bencana yang pernah di release Bank Indonesia, dimana menurut laporan perbankan, data nasabah yang terkena dampak bencana mencapai 98 ribu nasabah dengan nilai kredit yang berpotensi bermasalah - pasca bencana alam, mencapai nilai 1,3 triliun rupiah. Dari data hasil pendataan yang dilakukan Tim Ad Hoc yang dikirimkan BI baru 43 bank dan lembaga keuangan non-bank (termasuk koperasi dan BPR), dengan jumlah nasabah sekitar 6.300 nasabah. Jauh dari data yang diungkapkan oleh BI yang terkena dampak bencana per Juni 2006 yang mencapai 98.000 nasabah.


Sampai saat ini pengaduan masih terus mengalir di sekretariat Tim Ad Hoc. Di samping itu banyak pula pertanyaan dari para pengadu (UMKM) dan lembaga perbankan tentang tindak lanjut program Tim Ad Hoc. Dalam tugas memfasilitasi dan mendampingi nasabah UMKM yang terkena dampak bencana, Tim Ad Hoc telah me-mediasi kasus-kasus tersebut dengan Bank Indonesia yang dipertemukan dengan bank pelaksana dan nasabah UMKM. Hasil mediasi tersebut beberapa kasus telah ditunda penyitaan agunan kreditnya oleh perbankan. Pada dasarnya ini pun belum memberikan solusi untuk bangkitnya UMKM secara baik. Karena penundaan hanya memberikan space bernapas yang kurang leluasa. Inilah yang sebenarnya menjadi tantangan bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk bersama-sama menciptakan standar yang lebih jelas dalam membentuk mekanisme pengaduan nasabah dan transparansi informasi produk perbankan.


Di samping itu, edukasi kepada masyarakat mengenai jasa dan produk yang ditawarkan oleh perbankan perlu segera diupayakan sehingga masyarakat luas dapat lebih memahami risiko dan keuntungan yang akan dihadapi dalam menggunakan jasa dan produk perbankan. Masalahnya, dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga meimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Dan bila hal ini tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan merugikan nasabah atau bank. Tidak adanya mekanisme standar dalam penanganan pengaduan selama ini telah menyebabkan perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank yang cenderung berlarut-larut, dan tidak sedikit yang mengemuka di media. Hal ini tentu akan menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan apabila tidak segera ditanggulangi.


Bank Indonesia sebenarnya juga sudah menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. PBI Nomor 8/5/PBI/2006 itu sendiri sekaligus juga ditujukan untuk mendukung kesetaraan hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sebenarnya, pola penyelesaian melalui jalur alternatif ini lebih menguntungkan seiring dengan kebutuhan praktis para pelaku bisnis dalam penyelesaian sengketa di antara mereka. Sebab penyelesaian sengketa dengan model adjudikatif, terutama melalui jalur litigasi atau penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan, butuh waktu yang lama dan biaya yang besar.


Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dengan proses non-adjudikatif seperti negosiasi, konsiliasi maupun mediasi sebenarnya memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses adjudikatif. Karena dengan penyelesaian model ini kerahasiaan sengketa relatif lebih terjaga, penyelesaiannya juga lebih cepat dan memberi keleluasaan para pihak untuk memilih tempat dan mediator yang sesuai dengan keinginannya. Namun dalam kasus penyelesaian kredit korban gempa di Yogyakarta, perlu pula dibuat program penyuntikan modal kerja baru untuk membangkitkan usaha UMKM. Dari hasil perhitungan dan diskusi di KP2E Yo Bangkit, Jogja Rescue Team dan Tim Ad Hoc, minimal untuk menyelesaikan masalah kredit macet dan untuk melakukan gerakan kebangkitan UMKM DIY pasca bencana alam, diperlukan sekurang-kurangnya Rp 500 miliar. (Ronny Sugiantoro/Widyo Suprayogi)-g