Dari Penyerapan Aspirasi RUU UMKM Komisi VI ke Daerah-daerah |
Ditulis oleh tim DPR RI Sumber: http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=35 | |
Tuesday, 23 October 2007 | |
Komisi VI DPR yang membidangi perindustrian, perdagangan, BUMN dan Koperasi saat ini tengah membahas RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Agar bisa melahirkan UU yang dapat mengakomodir sebagian besar pemangku kepentingan yang bertalian dengan usaha mikro, kecil dan menengah. Komisi VI menyebar anggotanya ke berbagai daerah untuk menyerap aspirasi. Selain menambah wawasan dan pengkayaan khasanah, aspirasi dari kalangan perbankan, perguruan tinggi dan pengusaha kecil serta koperasi akan sangat bermanfaat bagi perkembangan UKM sendiri. Komisi VI mengirim 4 tim terbagi Tim ke Propinsi Jabar dipimpin Ketua Komisi VI Didik J. Rachbini didampingi Wakil Ketua Lily Asdjudireja , Wakil Ketua Komisi Dudhie Makmun Murod memimpin Tim ke Propinsi Jawa Tengah, Tim ke Propinsi Sumatera Utara dipimpin Wakil Ketua Komisi Anwar Sanusi dan Wakil Ketua Komisi Agus Hermanto memimpin tim ke Propinsi Jawa Timur. Dalam pertemuan dengan kalangan perbankan, Komisi VI meminta punya komitmen tinggi untuk membantu menyalurkan kredit bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Selama ini keberpihakan bank-bank dalam menyalurkan kredit bagi UMKM sangat kecil. Ketua Komisi VI DPR Didik J. Rachbini dihadapan jajaran Bank Indonesia, BRI, BNI, Bank Mandiri, Bukopin dan BPD Jawa Barat mengungkapkan, banyak para Banker yang berpendapat bahwa mengurus usaha mikro dan kecil itu tidak Bankable, untuk itu mereka berpendapat tidak perlu diurus. Namun kenyataannya, pada saat negara kita dilanda krisis moneter, justru usaha kecil inilah yang masih survive, sedang usaha-usaha besar banyak yang rontok. Hal ini dialami Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank pemberi kredit bagi usaha kecil. Didik menambahkan, meskipun sekarang ini ekonomi tumbuh lumayan bagus, tapi angka kemiskinan dan pengangguran masih relatif tinggi. "Ini persoalan krusial yang perlu mendapatkan perhatian serius," kata politisi F-PAN ini. Untuk itu Didik mengharapkan sumbangan pemikiran dari jajaran Bank untuk mencarikan jalan keluar bagi kemudahan pelaku UMKM. Karena selama ini kemampuan untuk menelusuri seluruh sudut-sudut usaha kecil di Indonesia belum berhasil, dalam arti suplaynya terlalu sedikit dibandingkan dengan kebutuhan yang diinginkan. Anggota Komisi VI dari F-PG H. Djoko Poerwongemboro mempertanya-kan rendahnya keberpihakan Bank-Bank kepada pelaku UMKM. Menurutnya, konglomerat-konglomerat besar terlalu banyak diberikan kelonggaran untuk diberikan fasilitas, tapi untuk usaha kecil dipersulit. Dalam hal ini dia melihat pemerintah tidak pro pada pelaku usaha kecil. Wakil dari Kantor Wilayah BRI Surya mengatakan soal kepedulian BRI pada pelaku UMKM tidak diragukan lagi. Menurutnya, kurang lebih 80% kredit di BRI disalurkan untuk UMKM. Dalam pemberian kredit tanpa agunan BRI baru berani mengeluarkan batas pinjaman Rp 5 juta. Jumlah ini kecil dan tidak dominan, tapi itupun banyak yang menunggak," kata Surya. Bank Mandiri, kata Suharto, memberikan kredit mikro sampai batas Rp 100 juta dan kecil sampai Rp 5 miliar. Di atas lima miliar untuk usaha yang sifatnya komersil, menjadi kewenangan pusat. Mengenai kredit tanpa agunan, Bank Mandiri mempunyai program yang namanya kredit serba guna mikro. Kredit ini diberikan sampai batas Rp 10 juta, namun hanya diberikan kepada para pegawai, baik pegawai perusahaan maupun pegawai instansi yang telah menjalin kerjasama dengan Bank Mandiri. Perihal pemberian kredit tanpa agunan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pernah dibuat program yang namanya Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Namun dalam kenyataannya saat dilakukan penagihan, UKM itu mengatakan bahwa itu bantuan dari Presiden tidak perlu mengembalikan. Untuk itu, menurut Suharto, dalam pemberian kredit tanpa agunan perlu diatur sedemikian rupa. Kalau nantinya ada pembebasan agunan, di sini perlu ada pengecualian-pengecualian. Menurut Sugianto, ketentuan umum Bab I RUU UMKM yang naskahnya berasal dari pemerintah itu disebutkan bahwa definisi dunia usaha dalam RUU UMKM ini adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha menengah dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Dalam pasal 23 ayat (2) ditentukan bahwa dunia usaha dan masyarakat berperan aktif meningkatkan akses UMK terhadap pinjaman atau kredit. " Saya takut dunia usaha dalam RUU ini tidak termasuk perbankan. Artinya bank tidak punya kewajiban untuk berperan secara aktif meningkatkan akses usaha mikro ini, sehingga bank tidak mempunyai kewajiban," jelasnya. Karena itu dia mengusulkan, ayat 2 tersebut perlu ditambahkan, perbankan berkewajiban sehingga lengkapnya berbunyi, " Dunia usaha, perbankan dan masyarakat berperan aktif meningkatkan akses UMK terhadap pinjaman atau kredit". Berdasarkan studi kelayakan dimanapun, perbankan melihat usaha itu tak layak maka tidak akan dibiayai. Karena itu beberapa studi yang dilakukan bersama BI mensyaratkan harus ada bank di dalamnya sebab yang menilai terakhir layak atau tidak adalah bank. Lebih lanjut FX Sugianto menegaskan perlu ada penegasan bahwa usaha-usaha mikro, kecil dan menengah harus dilindungi. Pada UU Penanaman Modal (PM), antara asas dan pasal bisa tidak konsisten. " Saya membayangkan walau ada UMKM yang dilindungi tetapi takut misalnya kalau modal asing masuk ke UMKM, ini hancur ekonomi kita," katanya. Demikian pula soal penyebaran informasi, dia melihat ketentuan pasal 17 perlu ada satu syarat lagi yaitu secara adil dan transparan, karena penguasaan informasi bisa menciptakan ekonomi profit. Dengan diatur dalam UU ada kekuatan memaksa, sebab dalam RUU tidak terlihat negara itu mempunyai kewajiban, padahal kewenangan itu ada pada negara. BUMN dan Pemda Begitu juga BUMN Sugianto meminta ditambahkan kata wajib. Dalam RUU hanya dapat menyediakan, artinya bisa melakukan atau tidak. Kalau wajib berarti satu kata dan satu makna, sehingga BUMN dapat menyediakan pembiayaan, yang pada gilirannya tidak bisa tidak harus menyediakan pembiayaan bagi UMK. "Nggak apa-apa BUMN diwajibkan, karena juga milik rakyat, sahamnya milik rakyat dan rakyat bayar pajak. Sudah saatnya rakyat itu menuntut haknya," tandas Sugianto. Menanggapi hal ini Ketua Tim Penyerapan aspirasi RUU UMKM Dudhie Makmun Murod mengatakan masukan kalangan perguruan tinggi Jateng ini sangat menarik dan diperkirakan akan menjadi masalah yang cukup berat. Tuntutan akademisi terhadap kewajiban perbankan membantu UMK tetapi di sisi lain perbankan memilki aturan yang ketat untuk mengeluarkan kreditnya sebab terikat dengan aturan yang ketat pula. Karena itu dalam pembahasan nanti Komisi VI DPR harus mencari formula yang pas sehingga bisa menghasilkan UU yang aspiratif dan yang terpenting bisa implementatif. Ditargetkan RUU ini bisa diselesaikan akhir tahun 2007 ini. Perlu pembatasan Masukan yang diterima Komisi VI saat menyerap aspirasi untuk pembahasan RUU UMKM Jawa Tengah, pembatasan operasional minimarket juga diusulkan oleh kalangan perguruan tinggi Jateng. Dalam pertemuan yang dipandu guru besar FE Undip Prof. FX Sugianto mereka mengusulkan adanya perlindungan bagi para pengusaha kecil menengah. Masuknya minimarket ternyata telah mematikan usaha yang lebih kecil lagi termasuk pasar tradisional. Secara tegas mereka menyebut perlu adanya aturan yang tegas terhadap operasional Alfamart dan Indomart, sehingga UKM tetap terlindungi. Selain itu usaha-usaha kecil sering kalah dalam persaingan, kemudian lambat laut bangkrut dan akhirnya usaha itu mati. " Masalah ini belum disinggung dalam RUU UMKM. Bagaimana pengaturan masalah ini apalagi menghadapi pasar global," kata salah seorang dosen FE Unisula. Begitu pula soal lokasi usaha UKM, kalau usaha asing ada perlindungan antara 30-hingga 50 tahun. Mereka mempertanyakan apakah mungkin dalam RUU UMKM juga ada perlindungan sehingga tidak ada penggusuran PKL, demo dan sebagainya. Dudhie Makmun Murod mengatakan, supermarket mini bisa merupakan alternatif untuk melawan hipermarket. Kemudian dikategorikan minimarket termasuk waralaba sebagai usaha menengah, namun kenyataannya mereka memukul pasar-pasar tradisional dan usaha kecil. Dikaji Ulang Sebagai UU yang baik, kata Sri Redjeki harus konsisten sejak pencantuman Pancasila, UUD 45 sampai dengan UU yang di bawahnya. Filosofi UU akan menjadi lebih berbobot jika merujuk pada tujuan pembentukan suatu negara yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur. Pimpinan Komisi VI DPR Dudhie Makmun Murod mengakui setelah bertemu dengan tiga pihak akademisi, pelaku usaha/pemda dan perbankan banyak sekali masukan yang sangat berguna bagi pembahasan RUU UMKM. Dia juga mengakui RUU yang naskahnya dari pemerintah masih banyak kekurangannya dan perlu diperbaiki dengan masukan-masukan dari berbagai kalangan. "Dengan masukan itu nanti diharapkan akan menghasilkan UU yang lebih berkualitas dan yang lebih penting bisa diimplementasikan di lapangan," kata Dudhie menambahkan. "Selama ini kita kesulitan dalam melakukan klasifikasi perijinan, karena itu kita meminta adanya klasifikasi perijinan khusus untuk UMKM, misalnya diperbolehkannya surat keterangan lurah terkait usaha UMKM,"kata Kepala Kanwil I Bank Mandiri Wahyu Widodo kepada Tim Komisi VI dipimpin Anwar Sanusi. Karena melalui langkah ini, tambahnya, dapat lebih memudahkan maereka dalam mendapatkan kredit dari pihak perbankan. Selain itu, kata Wahyu perlu dibentuk semacam lembaga penjaminan kredit terhadap UKM. Menurut dia pihaknya mengaku kesulitan UMKM terletak pada perijinan karena itu perlu adanya keterlibatan pemda dalam memberikan kemudahan dalam memberikan penjaminan. Ketua tim penyerapan aspirasi Anwar sanusi mengatakan, saat ini program BI untuk UMKM memang sedang gencar-gencarnya karena itu perbankan pemerintah harus mendorong program ini sehingga UMKM Indonesia bisa berkembang. Hal senada disampaikan oleh Yusuf Pardamean Nasution (F-PD), perlunya ditingkatkan jaringan antar perbankan sehingga kredit UKM dan perbankan dapat maju nantinya.(tim) |
No comments:
Post a Comment