LAPORAN & CATATAN TAHUN 2007 MENGHADAPI TAHUN 2008: Percepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta
Pasca Bencana Alam
27 Desember 2007
Gambaran Umum
Hampir 2 tahun gempa bumi di Yogyakarta telah berlalu. Pembangunan infrastruktur sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, NGO asing maupun oleh organisasi-organisasi lainnya. Namun roda ekonomi di Yogyakarta, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), baik sektor industri, perdagangan, jasa, pertanian maupun sektor-sektor yang lain masih dalam kondisi yang sulit. Terbukti dengan banyaknya pengaduan UMKM berkaitan dengan kondisi usaha mereka, terutama masalah kredit usahanya kepada Tim Ad-Hoc Penyelesaian Kredit Bermasalah Pasca Gempa Yogyakarta & KP2E Yo Bangkit.
Mau tidak mau harus diakui bahwa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak di DIY masih bias kepada aspek rekonstruksi fisik. Persentase alokasi dana bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa sebagian besar ditujukan untuk kegiatan pembangunan fisik terutama pembangunan rumah. Adapun alokasi untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan pariwisata terbukti hanya memperoleh persentase yang cukup kecil.
World Bank dalam laporannya memperkirakan kerugian yang terjadi akibat gempa di DIY mencapai Rp. 29 triliun, dan kerugian serta kerusakan yang utama dialami oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian DIY. Namun sangat ironis bahwa alokasi anggaran untuk merehabilitasi potensi ekonomi utama ini justru mendapatkan alokasi anggaran dalam persentase yang cukup kecil. Bahkan ekonomi DIY yang secara jelas ditopang oleh industri pariwisata dan pendidikan ternyata anggaran yang dialokasikan guna merehabilitasi kedua industri tersebut sangat minim untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Mengapa UMKM? Dari catatan BPS Yogyakarta tahun 2006 tercatat 97,93% pelaku usaha di DIY adalah UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Sehingga bisa dikatakan bahwa UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Yogyakarta. Maka secara otomatis, jika mayoritas para pelaku UMKM terkena problem-problem yang menghimpit di atas, akan sangat berimbas pada roda perekonomian Yogyakarta secara keseluruhan.
Saat ini, tampaknya kondisi kegiatan ekonomi UMKM di DIY belum cukup membaik. Hal ini tampak dari pengakuan responden pada penelitian yang dilakukan oleh UNDP (2007) yang menemukan bahwa tingkat penjualan dari pelaku usaha secara mayoritas masih lebih rendah dari periode sebelum gempa (53% responden menyatakan tingkat penjualan mereka turun).
Sejak awal pasca gempa bumi di Yogyakarta, secara ekonomi, Komite Percepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta “Yo Bangkit” – UKM Center telah memprediksi dampak bencana alam ini. Bahwa gempa bumi ini memiliki implikasi negatif pada perubahan kondisi perekonomian pada skala mikro maupun makro DIY. Rusaknya infrastruktur dan terganggunya kegiatan perekonomian, seperti robohnya pasar modern maupun tradisional, pertokoan, peralatan dan kegiatan produksi, lembaga keuangan, maupun masalah ketenagakerjaan serta kondisi ekonomi rumah tangga, diduga akan membawa konsekuensi disequilibrium (ketidakseimbangan) baru dalam perekonomian khususnya di Yogyakarta.
Bencana tersebut membawa dampak sangat signifikan terhadap perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga besarnya nilai kerusakan yang dialami oleh sektor industri akibat gempa bumi memaksa sejumlah besar unit usaha terpaksa berkurang kapasitas produksinya dan bahkan ada yang harus berhenti berproduksi karena mengalami kerusakan alat produksi. Hal ini membawa konsekuensi terhadap pengurangan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam unit usaha tersebut.
Hampir dua tahun pasca bencana alam ini, diperkirakan DIY telah menerima tidak kurang dari US $15 juta dari lembaga donor dan lembaga international lainnya untuk kegiatan rekonstruksi. Namun sekali lagi, dana yang cukup besar ini sebagian besar masih terfokus untuk kegiatan pembangunan fisik. Indikasi untuk bergerak dalam bidang livelihood atau ekonomi dari lembaga internasional masih sangat minim. Dari program livelihood yang ada pun porsi terbesar alokasi dana tersebut lebih pada technical assistance, ini yang dipandang kurang menyentuh pada akar persoalan bisnis yang ada di DIY, khususnya pasca bencana alam. Karena berdasarkan pemantauan dari pengaduan UMKM, yang sangat krusial untuk segera di atasi adalah masalah modal kerja.
Di samping itu tampaknya bantuan untuk merevitalisasi ekonomi DIY ini masih gamang dilakukan, karena tidak ada kejelasan rencana detail rekonstruksi bidang ekonomi dari pemerintah daerah. Oleh karena itu sangat diperlukan konsep yang jelas dari pemerintah daerah mengenai detail rencana pembangunan ekonomi DIY pasca gempa.
Jika kita menilik sejenak ke belakang (sebelum gempa bumi) pada perjalanan roda ekonomi para pelaku UMKM, kita tidak bisa lepas dari beberapa hal yang sangat mempengaruhi terhadap kelancaran usaha mereka, di antaranya adalah:
-
Krisis moneter pada tahun 1997,
-
Pergolakan politik arus reformasi
-
Kenaikan BBM (bahkan 2 kali naik) pada tahun 2005.
-
Otonomi Daerah, dengan konsekwensi-konsekwensinya.
-
dan faktor-faktor lain-lain
Dengan adanya beberapa faktor di atas, serta diakhiri dengan peristiwa gempa bumi, beban UMKM terasa sangatlah berat.
Dari beberapa pembahasan dan analisa studi terhadap para pelaku UMKM yang mengadu di posko pengaduan Tim Ad-Hoc & KP2E Yo Bangkit, dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa yang menjadi akibat dari dampak gempa bumi secara ekonomi adalah:
-
Rusaknya infrastruktur dan alat usaha,
-
Kehilangan sumber daya manusia untuk produksi,
-
Terputusnya hubungan dengan suplayer dan buyer,
-
Kehabisan/Kesulitan modal kerja, dan
-
Merosotnya moral ke-wirausahaan (entrepreneurship) pelaku usaha.
Hal-hal inilah yang --jika tidak ditangani secara serius-- akan menimbulkan multiple efek yang sangat luas. Meledaknya pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya angka kemiskinan, dan pada gilirannya akan sangat berdampak pada sosial kemasyarakatan. Bahkan cenderung pada naiknya angka kriminalitas!
Berdasarkan permasalahan-permasalah tersebut di atas, maka diperlukan sebuah pendekatan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi serta melibatkan seluruh stakeholders. Lebih dari hal tersebut, diperlukan sebuah action yang bersifat segera namun tetap terprogram secara baik.
Maka Komite Percepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta (KP2E Yo Bangkit-UKM Center) bersama-sama dengan asosiasi-asosiasi usaha, lembaga akademik di DIY, Lembaga Bantuan Hukum DIY, Lembaga Ombudsman Swasta, serta lembaga terkait lainnya berusaha mengantisipasi hal-hal tersebut dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang berfungsi sebagai katalis terhadap pemulihan ekonomi Yogyakarta pasca bencana alam.
Jika dipetakan, pola kerja KP2E Yo Bangkit lebih dominan pada porsi sebagai pendorong terhadap kebijakan ekonomi yang diprogramkan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lain (baik LSM maupun NGO asing) agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha di DIY.
Menghadapi tahun 2008 dan 2009, yang mana pesta demokrasi akan berlangsung, KP2E Yo Bangkit menengarai adanya degradasi perhatian terhadap dunia ekonomi oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lain. Hal ini yang menyebabkan review dan evaluasi kegiatan pemulihan ekonomi pada akhir 2007 dan menghadapi tahun 2008 menjadi sangat krusial.
Beberapa sektor yang menjadi catatan penting dan harus diperhatikan di antaranya adalah:
Permodalan & Advokasi UMKM
Kemampuan untuk recovery usaha dari pelaku bisnis, sangat terkait dengan kemampuan untuk melakukan rehabilitasi atau rekonstruksi terhadap segala kerusakan yang telah dialami, dalam hal ini terkait dengan kemampuan finasial yang dimiliki.
Berdasarkan survey tahun lalu, para pelaku usaha sangat memprioritaskan kebutuhan yang mendesak adalah modal kerja untuk memulihkan kondisi usahanya (59%). Maka dibutuhkan kebijakan yang betul-betul mendukung terhadap permodalan bagi dunia usaha di DIY, khususnya UMKM.
Permodalan usaha erat kaitannya dengan masalah kredit usaha. Dari berbagai diskusi yang dilakukan dan analisa dari berbagai pengaduan yang ada, KP2E Yo Bangkit-UKM Center bersama asosiasi-asosiasi usaha DIY, LBH DIY, LOS DIY telah melahirkan Jogja Rescue Team, sebagai tim yang melakukan edukasi, mediasi, dan advokasi terhadap UMKM yang mengalami kredit bermasalah kepada bank dan lembaga keuangan non-bank. Target terbentuknya Jogja Rescue Team adalah:
-
Mengupayakan agar bank dan lembaga keuangan non-bank tidak melakukan penekanan-penekanan terhadap UMKM, apalagi melakukan eksekusi terhadap agunan kredit UMKM yang bermasalah pasca bencana alam.
-
Mengupayakan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan MORATORIUM terhadap kredit UMKM selama 3 tahun, agar mereka dapat bekerja dengan tenang, tanpa ada penekanan dari pihak kreditur.
-
Adanya kebijakan khusus kepada UMKM yang terkena masalah kredit macet, baik berupa restrukturisasi, reschedulling kredit, recondisioning, maupun hair cut kredit.
Akhirnya untuk lebih memperkuat legitimasi dan bargaining position serta dengan adanya dukungan dari berbagai pihak dan terutama desakan dari dunia usaha, maka terbentuklah Tim Ad-Hoc Penyelesaian Kredit UMKM Pasca Gempa Bumi di DIY dengan SK Gubernur DIY No 55/Tim/2007. Dimana personel yang ditunjuk dalam tim tersebut dari unsur Pemerintah Provinsi DIY, Dinas terkait (Disperindakop DIY), Jogja Rescue Team, Polda DIY, LBH DIY, LOS DIY, Kejaksaan Tinggi DIY, dan DPRD DIY.
Langkah strategis Jogja Rescue Tim –yang diteruskan dengan Tim Ad Hoc- adalah membuka pengaduan bagi UMKM yang terkena masalah kredit macet, khususnya pasca bencana alam. Hal-hal yang telah diprediksi sejak awal ternyata terbukti dengan banyaknya pengaduan yang mengalir ke meja tim Ad Hoc. Dari data sementara pengaduan tersebut yang masuk berjumlah 500 lebih kasus dengan nilai kredit sebesar Rp. 23.241.555.795,- dengan nilai agunan sebesar Rp. 59.834.589.736,-
Kemudian Tim Ad Hoc juga berupaya meminta data dari perbankan tentang nasabah yang terkena dampak bencana yang pernah di release Bank Indonesia, dimana menurut laporan perbankan, data nasabah yang terkena dampak bencana mencapai 98 ribu nasabah dengan nilai kredit yang berpotensi bermasalah –pasca bencana alam-- mencapai nilai 1,3 Trilyun rupiah.
Dari data hasil pendataan yang dilakukan Tim Ad Hoc yang dikirimkan BI baru 43 bank dan lembaga keuangan non-bank (termasuk koperasi dan BPR), dengan Jumlah nasabah sekitar 6.300 nasabah. Jauh dari data yang diungkapkan oleh BI yang terkena dampak bencana per Juni 2006 yang mencapai 98.000 nasabah.
Sampai saat ini pengaduan masih terus mengalir di sekertariat Tim Ad Hoc. Di samping itu banyak pula pertanyaan dari para pengadu (UMKM) dan lembaga perbankan tentang tindak lanjut program Tim Ad Hoc.
Dalam upaya mendesakkan kebijakan ke Pemerintah Pusat melalui Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan, masih mempunyai banyak kendala, dimana pihak pemerintah pusat meminta data by name UMKM yang terkena dampak bencana dan jumlah dana yang dibutuhkan. Disamping itu hambatan lain adalah anggaran untuk support operasional Tim Ad Hoc yang sampai saat ini belum terealisir. Ini masalah yang sangat krusial!
Dalam tugas memfasilitasi dan mendampingi nasabah UMKM yang terkena dampak bencana, Tim Ad Hoc telah me-mediasi kasus-kasus tersebut dengan Bank Indonesia yang dipertemukan dengan bank pelaksana dan nasabah UMKM. Hasil mediasi tersebut beberapa kasus telah ditunda penyitaan agunan kreditnya oleh perbankan. Pada dasarnya ini pun belum memberikan solusi untuk bangkitnya UMKM secara baik. Karena penundaan hanya memberikan space bernafas yang kurang leluasa. Maka di samping target penyelesaian kredit di atas, perlu pula dibuat program penyuntikan modal kerja baru untuk membangkitkan usaha UMKM. Dari hasil perhitungan dan diskusi di KP2E Yo Bangkit, Jogja Rescue Team dan Tim Ad Hoc, minimal untuk menyelesaikan masalah kredit macet dan untuk melakukan gerakan kebangkitan UMKM DIY pasca bencana alam, diperlukan sekurang-kurangnya 500 Milyar.
Inilah yang menjadi catatan KP2E Yo Bangkit tentang permodalan & mediasi UMKM, untuk mendorong pemerintah agar masalah-masalah teknis pemulihan kredit macet segera diselesaikan dengan cepat dan bijak.
Industri, Perdagangan & Jasa
Saat ini, tampaknya kondisi kegiatan perdagangan dan jasa belum cukup menjanjikan pula. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa berdasarkan pengamatan UNDP (2007) menemukan bahwa tingkat penjualan dari pelaku usaha secara mayoritas masih lebih rendah dari periode sebelum gempa (53% responden menyatakan tingkat penjualan mereka turun). Ini bukti bahwa terputusnya hubungan suplayer dengan buyer benar-benar terjadi, sebagai akibat dari bencana alam. Hal ini jelas terjadi karena menurunnya kapasitas produksi dari para pelaku usaha, sehingga berimbas pula pada kepercayaan buyer terhadap suplayernya.
Demikian pula secara spesifik masalah ekspor. Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi DIY mencatat: bahwa memasuki tahun 2007 (s.d. Oktober), realisasi ekspor masih mengalami penurunan nilai sebesar 11,04%, penurunan volume sebesar 10,09%, dengan perolehan nilai sebesar 102,48 juta US$ dan volumenya 31,19 juta kg.
Posisi ini bisa difahami, mengingat persaingan di pasar global sudah semakin kompetitif, baik di dalam maupun luar negeri, apalagi antara daerah satu dengan daerah lain, antara negara berkembang satu dengan negara berkembang lainnya. Produknya hampir sejenis, sehingga buyers mempunyai banyak pilihan. Kondisi pasar yang demikian cenderung sudah semakin “Buyer Market”. Di sisi yang lain kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, berdampak pada peningkatan komponen biaya produksi, sehingga tuntutan efisiensi dan produktifitas tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di samping itu masalah kualitas produk dan pola kerja juga merupakan kendala penting bagi pertumbuhan ekspor, khususnya DIY.
Masalah kualitas produk terkait langsung dengan infrastruktur industri. Maka KP2E Yo Bangkit bekerjasama dengan UNIDO Jepang dan Indonesia, EDS Laboratory Inc., Pemda DIY dan lembaga-lembaga terkait lainnya telah mengupayakan adanya kontribusi fasilitas treatment produk kayu dan bambu dari negara Jepang. (Program ini masih dalam proses negosiasi G to G antara Indonesia dengan Pemerintah Jepang).
Kegiatan pendukungnya berupa pameran Rumah Bambu & Kayu yang di datangkan langsung dari Jepang dan telah ditreatment dengan teknologi Ecology Diversity Sinergy. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2007 di JEC Yogyakarta. Di samping itu bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada mengadakan kegiatan International Bamboo Palm Summit 2007 pada bulan tersebut.
Sedangkan pada masalah perdagangan, sejak awal pasca bencana alam, KP2E Yo Bangkit telah mendorong baik secara konseptual maupun terlibat langsung pada kegiatan yang bersifat mendongkrak akses marketing. Pameran dagang misalnya. KP2E Yo Bangkit bersama dengan pemerintah dan asosiasi-asosiasi usaha DIY telah mensupport UMKM dalam kegiatan pameran, baik dalam negeri maupun luar negeri. TexCraft 2007 dan Jogja Export Expo 2007 misalnya. Di samping itu bersama JETRO (Japan External Trade Organization) telah memberikan akses pendampingan tentang design produk kerajinan bagi UMKM serta pameran di Interior Lifestyle di Tokyo Jepang pada Juni 2007.
Akses marketing juga dilakukan oleh KP2E Yo Bangkit bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri serta KADIN DIY dalam acara Business Meeting dengan perwakilan duta besar Eropa (Jerman, Turki dan Perancis) pada November 2006.
Dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh KP2E Yo Bangkit di bidang industri dan perdagangan inilah diharapkan bisa menjadi katalis tewujudnya perkembangan di bidang industri & perdagangan di DIY secara lebih baik dan profesional sebagaimana tuntutan perdagangan global.
Pariwisata
Yogyakarta sebagai kota pariwisata sangat bergantung pada kondisi instrumen-instrumen yang mendukungnya, di antaranya adalah infrastruktur, transportasi, keamanan, politik, sosial dan budaya. Jika instrumen-instrumen ini lalai untuk diperhatikan dari pihak-pihak terkait, maka sudah menjadi keniscayaan bahwa dunia pariwisata akan mengalami degradasi yang tidak menguntungkan.
Terkait masalah transportasi wisata di DIY, KP2E Yo Bangkit beserta asosiasi pariwisata telah merekomendasikan dan mendorong pada pihak-pihak terkait untuk membuka akses penerbangan ke luar negeri, Malaysia & Singapore misalnya. Ini sangat krusial bagi perjalanan sektor pariwisata. Karena bagaimanapun kemudahan akses wisatawan asing ke Yogyakarta menjadi faktor pendorong berkembangnya sektor pariwisata.
Berdasarkan catatan dari Masyarakat Pariwisata Indonesia, bahwa tingkat kunjungan para wisatawan manca negara pada akhir 2007 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Ini tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan instrumen-instrumen di atas. Di samping itu tidak adanya sistem bisnis kepariwisataan di DIY yang mendukung terhadap peningkatan bisnis ini.
Sistem yang mendukung pariwisata ini bisa berupa kolaborasi antara sektor pariwisata dengan sektor-sektor yang lain. Misalnya sektor pendidikan, sehingga tercipta wisata pendidikan. Atau sektor industri kerajinan, misalnya. Sehingga tercipta wisata industri kerajinan, atau dengan sektor-sektor yang lain. Jika sistem ini menjadi satu kesatuan dalam memasarkan industri pariwisata, maka energi yang harus dikeluarkan akan lebih ringan, jika dibanding dengan pola marketing sektor-sektor tersebut secara terpisah.
Seperti kita ketahui bahwa pada tahun 2009 merupakan ajang pesta demokrasi, yang mana konsentrasi institusi pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya mulai tahun depan (2008) terfokus pada masalah tersebut. Oleh karena itu perlu dorongan terhadap sektor-sektor ekonomi yang bersifat jangka pendek, termasuk pariwisata misalnya. Hal ini perlu dilakukan untuk mengeliminir dampak yang muncul akibat kegiatan politik yang akan datang. Sehingga diharapkan pula pada gilirannya akan ikut mengantisipasi adanya goncangan terhadap dunia pariwisata. Di sinilah peran pemerintah dan institusi-institusi terkait sangat diperlukan, bahkan harus membuat sistem yang terpadu di antara sektor-sektor lain tersebut, jika tidak ingin sektor pariwisata mengalami collaps.
Tenaga Kerja
Faktor tenaga kerja erat kaitannya dengan peluang kerja dan investasi. Maka iklim investasi yang kondusif perlu didorong untuk menarik para investor masuk ke wilayah Yogyakarta. Hal ini sangat terkait dengan iklim sosial dan politik, baik secara nasional maupun lokal. Maka perlu adanya kesadaran dari berbagai stakeholder yang terkait untuk mengkondisikan iklim ini, agar investasi tetap berjalan dengan baik.
Secara lebih spesifik, berdasarkan survei yang dilakukan oleh UNDP (2007) menemukan bahwa secara total diperkirakan tingkat pengurangan karyawan yang dilakukan oleh sektor usaha mencapai 14%. Ditinjau dari skala usahanya, maka sektor yang paling banyak melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja adalah sektor usaha skala menengah dan besar, yaitu mencapai 51% dari responden skala menengah dan besar. Adapun skala kecil dan mikro masing-masing menunjukkan 24% dan 40%.
Dari berbagai indikator makro di atas dapat disimpulkan bahwa dampak gempa bumi 27 Mei 2006 tersebut membawa akibat yang sangat serius, tidak saja untuk jangka pendek akan tetapi juga membawa potensi masalah dalam jangka panjang apabila tidak disikapi dengan sebuah pendekatan yang tepat.
Dari diskusi dengan Asosiasi Buruh Yogyakarta, ada tiga point penting yang harus diperhatikan dalam masalah ketenagakerjaan, yaitu:
-
Diperlukan adanya pembukaan lapangan kerja yang lebih luas untuk menampung pengangguran di DIY.
-
Dibutuhkan skema kebijakan/strategi daerah yang dapat meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja.
-
Adanya perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang memadai.
Kelembagaan Ekonomi
Seperti halnya skenario awal terbentuknya KP2E Yo Bangkit adalah merupakan embrio dari lembaga UKM Center yang –dengan lembaga ini- diharapkan bisa menjadi lembaga yang sustainable, legitimate, dan terpadu dalam menangani masalah-masalah UMKM. Bagaimanapun masalah UMKM sangat berimplikasi terhadap pergerakan ekonomi secara umum.
Direncanakan pula bahwa lembaga ini merupakan institusi multi stakeholder, dari unsur pemerintah, asosiasi-asosiasi usaha, lembaga hukum, ombudsman, dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Maka dari itu perlu adanya persiapan pembentukan adanya lembaga UKM Center tersebut, baik secara organisatoris, struktur, budgeting, atau perangkat-perangkat organisasi lainnya.
Sedangkan kelembagaan ekonomi yang mempunyai scoope lebih luas, KP2E Yo Bangkit merekomendasikan adanya suatu wadah institusi berupa Dewan Ekonomi Daerah, yang bertugas menganalisa, mensupport, memfasilitasi terhadap planning (perencanaan) serta forcasting (ramalan) kegiatan-kegiatan ekonomi DIY ke depan. Sehingga pergerakan ekonomi DIY bisa terarah, terkontrol dan berjalan dengan baik. Lembaga ini terbentuk pula secara multi stakeholder. Sehingga lembaga ini bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Yogyakarta.
Di samping itu, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif, perlu adanya revitalisasi organisasi asosiasi-asosiasi usaha di Yogyakarta.
Entrepreneurship
The Last but not least adalah masalah mental kewirausahaan. Seberapa canggihnya konsep bisnis dan instrumen-instrumennya untuk membangun sebuah usaha tanpa adanya mental wirausaha yang sehat, sebuah bisnis tidak akan berjalan dengan sehat pula. Maka KP2E Yo Bangkit sangat mendukung adanya kegiatan yang bersifat mendorong terhadap mental kewirausahaan, khususnya bagi UMKM.
Sekedar menyebut kegiatan, KP2E Yo Bangkit telah mengadakan Mujahadah UMKM yang bertujuan menjalin hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya pada bulan September 2007. Di samping itu bekerjasama dengan Bara Api Event Organizer telah mengadakan konser kesenian ”KemBalikan Jogjaku” disertai dengan orasi entrepreneurship dari pelaku bisnis. Ini semata-mata untuk membangkitkan mental kewirausahaan bagi UMKM di DIY.
Namun demikian, masih sangat diperlukan adanya kegiatan-kegiatan dengan bentuk yang lain yang bertujuan sama, untuk membangkitkan entrepreneurship bagi UMKM.
***
Penutup & Rekomendasi
Pada akhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi kegiatan ekonomi DIY membutuhkan komitmen bersama dari seluruh komponen masyarakat. Diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan rencana strategis pengembangan kegiatan ekonomi DIY pasca gempa secara jelas. Selanjutnya rencana strategis ini diharapkan dapat diterjemahkan oleh komponen masyarakat lainnya (industri keuangan, pendidikan, dll) sebagai acuan bagi pelaksanaan penguatan kegiatan ekonomi DIY. Masing-masing komponen masyarakat perlu bekerjasama untuk memperkuat proses rekonstruksi kegiatan ekonomi ini.
Kegiatan untuk merevitalisasi UMKM dan menggalakkan investasi di DIY perlu menjadi prioritas rencana strategis bagi pengembangan ekonomi DIY saat ini. Memanfaatkan momentum bencana gempa seharusnya dapat di gunakan sebagai pijakan untuk menegosiasikan segala kebijakan baik kepada pemerintah pusat maupun lembaga donor bagi optimalisasi rehabilitasi dan rekonstruksi kegiatan ekonomi.
Kebersamaan menjadi key word bagi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi kegiatan ekonomi DIY. Tugas menyelesaikan masalah ekonomi bukan hanya domain pemerintah akan tetapi bagi seluruh komponen masyarakat. Oleh karena itu, mari kita bangun ekonomi Jogja menjadi lebih baik.
Pelaku usaha merasa saat ini yang sangat diperlukan adalah suntikan modal agar kegiatan produksi dapat berjalan lagi. Hal ini perlu segera dipenuhi agar pembeli (pasar) tidak hilang. Oleh karena itu bantuan dari industri perbankan, dan pemerintah sangat diharapkan. Bantuan tersebut diharapkan dapat berupa pinjaman tanpa bunga atau berbunga rendah, keringanan pembayaran kewajiban pajak atau penjadwalan kembali cicilan pinjaman.
Dari persoalan-persoalan di atas, maka perlu direkomendasikan kepada beberapa unsur, di antaranya adalah untuk:
-
Pemerintah DIY
-
Perlu adanya koordinasi dengan pemerintah pusat dan sektor-sektor terkait bidang ekonomi untuk membuat sistem kebijakan yang jelas tentang strategi recovery khususnya bidang ekonomi pasca bencana alam. Mengingat secara geografis, DIY merupakan wilayah rawan bencana alam.
-
Perlu segera dikeluarkan kebijakan tentang penanganan kredit bermasalah bagi UMKM pasca bencana alam (melalui Tim Ad Hoc), beserta program pendukungnya berupa support permodalan, baik berupa kredit lunak jangka panjang, maupun hibah.
-
Bersama DPRD DIY secara sinergis harus bisa mengupayakan dikeluarkannya kebijakan tentang pembiayaan Tim Ad Hoc penanganan Kasus Kredit Bermasalah UMKM.
-
Perlu meningkatkan dukungan terhadap akses pasar bagi UMKM, berupa kegiatan-kegiatan seperti pameran dagang baik dalam negeri maupun luar negeri, serta kegiatan-kegiatan yang mendukung lainnya.
-
Di bidang pariwisata perlu berkoordinasi dengan instansi dan lembaga terkait berkaitan kebijakan terhadap sistem pemasaran pariwisata DIY di dunia internasional, yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pariwisata DIY. Di samping itu segera membuka akses transportasi udara internasional.
-
Segera membuka dan mempermudah peluang investasi (dengan verifikasi yang standar) untuk membuka peluang tenaga kerja yang lebih luas untuk mengurangi pengangguran.
-
Dikeluarkannya kebijakan yang mendukung kesejahteraan tenaga kerja.
-
Perlu mendukung terhadap upaya penanganan sektor ekonomi melalui lembaga yang melibatkan multistake holder yang legitimate, sustainable, capable dalam menangani pergerakan ekonomi daerah.
-
Perlu mendukung terhadap penyediaan fasilitas publik untuk dunia industri & perdagangan.
-
Masih diperlukan dukungan kegiatan yang bersifat mengembalikan mental kewirausahaan (entrepreneurship).
-
Pelaku Usaha
-
Harus melakukan evaluasi dan introspeksi pada usaha masing-masing dari sisi manajemennya. Sehingga dapat diidentifikasi kekurangan-kekurangan yang telah dilakukan sebelum kondisi terpuruk.
-
Perlu membangun jaringan yang lebih luas, baik dengan buyer maupun suplayernya.
-
Perlu adanya mengkaji terhadap development produk masing-masing usaha, sehingga muncul inovasi-inovasi baru yang mampu bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional.
-
Perlu membangun dan membangkitkan mental entrepreneurship diri masing-masing.
-
DPRD DIY
-
Bersinergi dengan Pemerintah Daerah DIY dalam mengeluarkan kebijakan yang mendukung terhadap pemulihan ekonomi DIY.
-
Memberi dukungan terhadap kerja Tim Ad Hoc penyelesaian kredit bermasalah UMKM DIY, baik secara kebijakan finansial maupun program kerjanya.
-
Asosiasi Usaha
-
Perlu adanya evaluasi & revitalisasi terhadap organisasi asosiasi bisnis, untuk bergerak secara profesional dan terorganisir secara profesional dan rapi.
-
Agar mengupayakan sumber pembiayaan yang tetap dan bersifat kontinyu terhadap operasional organisasi.
-
Perlu menjaring networking pada lembaga-lembaga di luar asosiasi, baik lokal maupun internasional yang bertujuan untuk akses jaringan para anggota-anggotanya.
-
Perbankan
-
Segera mengeluarkan kebijakan yang mendukung terhadap penyelesaian kredit bermasalah UMKM DIY pasca bencana alam.
-
Tidak melakukan penekanan baik mental maupun fisik terhadap pelaku UMKM.
-
Dalam kondisi dan pertimbangan yang bisa ditolerir tidak melakukan penyitaan asset UMKM.
-
Tim Ad Hoc Penyelesaian Kredit UMKM pasca Gempa
-
Segera secara cepat mengupayakan pembiayaan operasional bagi Tim Ad Hoc. Mengingat masih banyaknya pengaduan UMKM yang masuk dalam katagori emergensi.
-
Bekerja secara profesional dalam menangani kredit bermasalah UMKM DIY.
Demikianlah apa yang menjadi catatan pemulihan ekonomi DIY pasca bencana alam pada akhir tahun 2007 untuk menghadapi kondisi ekonomi 2008. Pada akhirnya, kerjasama yang sinergis antar insitusi menjadi senjata yang paling memegang peranan penting.
Semoga bermanfaat.
***